Ke  Rumah Gusti Raden Ayu Retno Satuti  —   (Bagian 1: Tentang Muh. Yamin, Rahadian Yamin, dll)

Dia putri sulung Mangkunegara VIII, raja Kraton Mangkunegaran, Solo. Di usianya yang ke-70 kulitnya terlihat masih mulus –seperti tak ada kerutan. Putih dan, jelas, terawat.

“Aku wis tuek, kok difotoi terus,” katanya ketika Jati, fotografer kami, mengambil gambarnya dari berbagai sisi, saat dia duduk atau bergerak ke manapun.

Nada bicaranya yang empuk, penekanan kata “tuek” yang mengambang –kata “ek”-nya tidak ditekankan dengan keras-  mengingatkan saya pada suara teman-teman mahasiswi saya asal Solo saat, sekian belas tahun silam, saya kuliah di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Solo.

Mungkin demikianlah nada bicara putri Solo, wanita Solo. Tekanan kata-kata yang keluar dari bibir mereka tidak pernah  keras –juga tidak terlalu lemah. Kata-kata yang seperti “terapung-apung ” di udara. (Jauh sekali dengan nada bicara  teman-teman perempuan SMA saya di Surabaya –tempat saya besar-  yang nada huruf “k” pada sebuah kata selalu  ditekankan keras-keras. Misalnya, jika saya tidak masuk sekolah beberapa hari, dan besoknya mereka melihat saya, “Minggat nengdi ae kon Bas kok gak ketok-ketok…” lalu disambung lagi…”Tak kiro awakmu wis matek….” Astagfirullah…

Senin pekan lalu saya, bersama sejumlah wartawan Tempo bertandang ke rumah Bu Satuti –demikian akhirnya saya memanggilnya karena saya sendiri tidak tahu apa dan bagaimana memanggil beliau. Ini kedatangan saya ke dua ke rumahnya di Jalan Diponegoro 10, Jakarta Pusat, setelah sebelumnya, di akhir-akhir bulan Ramadan dulu, kami juga bertandang ke sana.

Sebuah kolam ikan di pelataran rumah Gusti Raden Ayu Retno Satuti

Sebuah kolam ikan di pelataran rumah Gusti Raden Ayu Retno Satuti

Ya, kami perlu menemui dia, karena Tempo sedang mempersiapkan edisi khusus tentang Muhammad Yamin –edisi yang mesti harus selesai sebelum tanggal 17 Agustus ini karena akan dibagikan untuk para tamu undangan peringatan 17-an di Istana Negara.  Sebagai “PO” yang ditunjuk Pemred, saya sudah meminta bagaimana pun, “pasukan” harus bisa mewawancarai Retno Satuti.

Penting? Jelas –sangat.  Dia adalah istri almarhum Dang Rahadian Sinayangish Yamin yang namanya lebih dikenal dengan “Rahadian Yamin,”  peragawan dan desainer kondang tahun 70-an. Rahadian adalah anak tunggal Muhammad Yamin. Jadi, siapa lagi orang dekat Muhammad Yamin, yang bisa bercerita tentang Yamin dan istrinya, kalau tidak  Satuti? Apalagi, dari segala sumber yang sudah kami lacak, tidak ada satu pun narasumber –sekalipun dia dari keluarga Yamin yang berasal dari Talawi, Sawahlunto tempat kelahiran Yamin-  yang memiliki hubungan demikian dekat dengan Yamin, seperti  Satuti.

Agak waswas sebenarnya saya dengan narasumber Retno Satuti ini. Pertama, saya bayangkan dia sudah sangat sepuh. Kedua, dia putri raja yang tentu tak sembarangan menerima orang. Di luar itu, seorang kerabat Yamin dari Sumatera bercerita, dia sendiri selama ini sulit untuk menjalin komunikasi dengan Retno Satuti. Waduh…

Tapi, semua mesti dicoba. Saya meminta seorang reporter perempuan untuk mendatangi rumah Retno Satuti dan memasukkan surat permohonan wawancara. Menurut pemikiran saya, jika yang meminta wartawati perempuan, mudah-mudahan Satuti mau menanggapi. Usaha  harus dilakukan!

Alhamdullilah, akhirnya, lewat sekretarisnya, Satuti ternyata menyatakan kesediannya untuk ditemui,  di wawancarai.

Tak hanya menjawab segala pertanyaan kami –yang ia ketahui, ia juga mengajak kami berkeliling ke sejumlah ruang rumahnya yang luas. Rumah ini adalah peninggalan Yamin. Di sini Yamin hidup bersama Siti Sundari dan Rahadian. Dulu di seberang rumah ini, adalah kediaman Soepomo (kini terlihat tidak dihuni dan ditutup seng), pakar hukum yang juga bapak bangsa ini.

Di sebelah kiri rumah Soepomo, kediaman Roeslan Abdul Gani (kini ditempati ahli warisnya).  Jalan Diponegoro memang masuk wilayah Menteng, daerah ter-elite ibu kota, daerah rumah-rumah pejabat. Pajak Bangunan rumah-rumah di situ di atas Rp 100 juga per tahun. Pemerintahan Jokowi, untungnya, kini memberi keringanan kepada ahli waris yang menjaga rumah-rumah yang pernah ditinggali bapak bangsa, seperti Yamin tersebut.

Satuti sendiri ternyata tak mengenal mertuanya –sehingga dia mengaku tak bisa bercerita banyak.  Ia menikah dengan Mas Dian –demikian dia memanggil suaminya-  beberapa tahun setelah Muhammad Yamin  meninggal. “Ini semua kursi peninggalan Pak Yamin, lampu-lampu ini juga peninggalannya,” ujarnya menunjuk meja dan lampu di ruang makan.

Ruang Makan Muh.Yamin

Ruang Makan Muh.Yamin

Ibu dua anak dan beberapa cucu ini masih gesit berjalan. “Ibu  awet muda karena minum jamu tiap hari ya?” seorang reporter perempuan nyeletuk. Satuti tertawan kecil. “Nggak juga. Kalau pulang ke Solo saja saya minum jamu, hehehe….”

Di sebuah ruang saya melihat foto Retno Satuti saat muda. Ini fotonya, yang mungkin dulu pernah muncul di majalah.

Retno Satuti

Retno Satuti

Saya mengamati sebuah lukisan di ruang tengah –yang cukup luas-   ruang yang menurut Satuti tempat Yamin biasa bekerja dan menulis. “Itu lukisan Bu Siti Sundari,” kata Satuti menyebut gambar perempuan, gambar mertuanya. Saya mendekat, di situ tertulis, mungkin, nama pelukisnya, “Doni, 1954.” Mungkin 1954 itu adalah tahun lukisan itu dibuat.

Lukisan Siti Sundari

Lukisan Siti Sundari

Soal Siti Sundari, istri Muhammad Yamin, mertua perempuan Retno Satuti, nanti akan saya jelaskan dalam tulisan berikutnya. Yang pasti ini perempuan yang sangat luar biasa. Dia berasal dari Kudus, aktivis perempuan pergerakan yang pernah berpidato tentang persamaan hak dan kemajuan perempuan di tahun 1920-an.

Saya bisa membayangkan bagaimana Yamin muda demikian tertarik dengan kecantikan dan kecerdasan Sundari. Yang saya tak terbayangkan:  bagaimana demikian terbukanya Siti Sundari, perempuan bangsawan ini,  mau menerima pinangan seorang pemuda dari seberang. Tapi, mungkin itulah cinta. (Dari sebuah buku, saya baca, saat mereka menikah, ternyata tak ada satu pun keluar Yamin dari Sumatera Barat pun yang tahu –sementara sebenarnya keluarga Sundari menentang pernikahan itu).

Ada dua perempuan luar biasa yang ternyata berkaitan sangat erat dengan Retno Satuti. Pertama, Siti Sundari tadi. Kedua, ini dia, Gusti Nurul  yang nama lengkapnya (dan ejaannya) Gusti  Raden Ayu Siti Noeroel Kamaril Ngasarati Koesoemawardhani Soerjosoejarso.

Gusti Nurul, nama ini pernah saya baca dalam kaitannya dulu waktu kami membuat edisi khusus tentang Sutan Syahrir.

Di sebuah ruang yang kecil, saya melihat foto Gusti Nurul itu. Di atasnya tergantung foto Mangkunegara VII. “Gusti Nurul itu tante saya, dia adik bapak….” kata Satuti.

Foto Gusti Nurul (foto pigura kecil sebelah kanan)

Foto Gusti Nurul (foto pigura kecil sebelah kanan)

Nanti –di tulisan lain- saya akan tulis tentang Gusti Nurul ini. Sebagai “pengantar” saya ceritakan sedikit Gusti  Nurul ini adalah kembang Kraton Mangkunegaran yang tersohor kecantikan, kecerdasan, prinsipnya yang antipoligami. Bung Karno dan Sutan Syahrir pernah mati-matian mencoba mendekati Nurul, tapi tak bersambut. Sultan Hamengkubowo IX pun pernah menginginkan Gustu Nurul menjadi permaisurinya –hal yang ditampik Nurul karena ia tahu  kelak ia pasti bakal di madu. (Nah, konon, inilah yang membuat HB IX tidak pernah memiliki permaisuri kecuali selir dan selir…..).

Satuti berkali-kali mengaku ia tak banyak bisa bercerita tentang Muhammad Yamin karena dia memang tidak tahu. “Hanya katanya pendiam, seperti Ibu Sundari,” kata Satuti.  Sama dengan Rahadian? “Oh tidak kalau Mas Dian ramai orangnya…..” kata Satuti.

Menurut Satuti, dari cerita yang ia dengar, Yamin, saat hidup, memang kerap bertandang ke Pura Mangkunegaran. “Dia senang duduk-duduk mengamati keadaan di sana,” kata Satuti.

Bersama Retno Satuti

Bersama Retno Satuti

Dari Satuti, akhirnya kami mendapat sesuatu yang sangat berarti untuk edisi ini: foto-foto Muhammad Yamin, foto-foto yang tidak pernah terpublikasi. Juga, tentu saja, foto Siti Sundari itu. ***