Sabtu kemarin Gedung Tempo di Palmerah Barat 8, tidak seperti biasanya, meriah. Umbul-umbul terpasang di sana-sini. Halaman parkir yang biasanya penuh mobil diisi dengan tenda-tenda yang di dalamnya terdapat berbagai stan. Dari menjual buku hingga mengenalkan sejumlah komunitas.
Pagi itu, pusat “kemeriahan” adalah di lantai tujuh, lantai yang selama ini sengaja dikosongkan lantaran tengah dijajakan -ya bagi mereka yang ingin berkantor di Tempo. Di sana dua ruang luas disulap menjadi ruang pertemuan dan ruang makan. Pagi itu ruang itu sudah penuh sesak saat saya datang. Semuanya anak muda, pelajar dan mahasiswa –mungkin tingkat pemula,
Tempo Institute, sayap Tempo yang fokus kegiatannya adalah pengembangan kualitas jurnalistik secara luas (demikian slogannya di situs mereka http://tempo-institute.org/) hari itu tengah menggelar hajatan keren yang diberi label: Festival Orang Muda. Menjadi Indonesia-Menuju Seabad Republik.
Baca juga: Surat dari dan untuk Pemimpin I (Surat Rachman Tolleng)
Menarik,jelas, karena yang ditampilkan adalah sejumlah anak muda yang punya prestasi, yang melakukan sejumlah gerakan, aktivitas, yang bisa membuat teman-teman mereka, orangtua, guru, dosen, atau bekas dosen mereka mungkin ternganga sambil melontarkan kata: wow ! atau minimal (atau juga di dalam hati) mengacungkan jempol.
Mereka adalah Yukka Harlanda, pemilik sepatu merk Brodo yang berbasis penjualan online; Wregas Bhanuteja (sutradara Prenjak); Valentino Luis (penggagas gerakan shoes for Flores); Irendra Radjawali (pembuat drone); Maria Tri Sulistyani (penggagas Papermoon puppet Theatre); Irfan Amalee (penggagas Peace Generation); Gamal Albensaid (penggagas Indonesia Medika); Mesty Ariotedjo (pendiri wecare.id); Rosa Dahlia (penggiat pendidikan di pedalaman Papua); Dennis Adhiswara (pendiri layaria); Ai Hidayat ( pendiri sekolah multikultur ) dan penyair Aan Mansyur.
Di lantai 7 itu, satu persatu tampil, menceriterakan pengalaman mereka, batu dan kerikil yang mereka hadapi, termasuk ceritera-ceritera lucu dalam aktivitas mereka. “Saya ini dulu bikin sepatu gara-gara mencari sepatu untuk ukuran kaki saya sulit. Sudah sulit mahal lagi,” kata Yukka Harlanda. Alumni ITB Jurusan Teknik Sipil ini kini dikenal sebagai pengusaha sepatu merk Brodo. Ya, tentu saja itu dari asal kata “bro” sebutan untuk kawan yang kita nilai akrab.
Mesty berceritera salah satu pengalamannya saat bertugas di sebuah rumah sakit di Jakarta dan menunggu seorang pasien bayi yang orangtuanya kemudian memohon agar bisa membawa pulang bayi mereka karena biaya pengobatan sudah Rp 75 juta. “Bapak itu bilang hanya punya uang Rp 30 juta yang itu pun sudah ia kumpulkan dari semua saudaranya. Ia tidak sanggup lagi,” kata Mesty di panggung. Padahal, menurut dia, dalam waktu lima menit jika bayi itu pulang, bisa jadi akan meninggal. Mesty kemudian menggalang dana dan terkumpulah biaya untuk pengobatan bayi itu. “Sebenarnya banyak orang baik di sekitar kita,” katanya. Menurut Mesty, mereka bersedia membantu karena dana yang mereka berikan sangat transparan penggunaannya.
Aan Mansyur, penyair yang puisinya dipakai dalam film Ada Apa dengan Cinta 2 (“Tak Ada New York Hari Ini”) berceritera panjang lebar tentang kegiatan dan awal mulanya menggeluti dunia kepenulisan. Ia mengaku sebenarnya dirinya orang yang pemalu, ragu-ragu, tidak percaya diri, plus punya kelainan jantung sehingga sejak kecil dilarang bekerja keras. Dan untuk semua ini ia menemukan dunia yang demikian luas dan memenuhi hasratnya: perpustakaan. Saya tertawa waktu Aan, dengan logat khas Bugisnya, berceritera pernah ia sangat ingin mempunyai pacar seorang gadis bisu karena menurut dia dunia sangat indah jika tidak ada orang bertanya-tanya dan dia akan merasa damai. Aan pandai berceritera, memikat, dan saya kira gadis mana pun akan jatuh cinta jika mendengar kata-kata penuh puitisnya jika berkisah…
Saya sendiri menyenangi sejumlah puisi yang dibuat Mansyur, bukan puisi tentang cinta kepada seseorang (karena kalau soal ini pun saya merasa juga bisa menciptakan, hehehe) tapi, misalnya, puisi yang bicara tentang buku
Jendela perpustakaan
Langit menyentuh buku-buku pada sore hari
Ketika para pengunjung diminta berhenti membaca
Seorang petugas akan menutupnya dan tidak menyadari pertemuan singkat mereka yang hangat..
Perpisahan dan warna masa kecil itu tiba-tiba musnah
Orang-orang pulang dengan pikiran lama di kepala
Lampu-lampu dipadamkan dengan alasan penghematan
Buku-buku tidak bisa membaca diri mereka sendiri
Malam akan datang dan kesunyian menyusun dirinya kembali
Di depan perpustakaan langit masih menatap jendela tertutup itu tanpa berkedip…
Aku tidak ingin cepat sampai di rumah
Kubiarkan langit yang sedih menyentuh kepalaku
Orang-orang tergesa dan tidak membawa buku
Mereka berbahaya dan tidak waspada
Di jalan menuju rumah aku ingin memikirkan semua bunyi-bunyian
Bahkan yang paling jauh- dan tidak ingin mengerti apa-apa
Di rumah hanya ingin ku renungkan diriku dan seluruh yang tidak ingin ku lupakan
Jika mimpi datang, aku ingin jadi jendela yang luas untuk langit, buku-buku dan kau..
***
Tempo Institute mengundang sekitar 200 anak muda, dari berbagai komunitas juga universitas, untuk datang, mendengar, dan berdiskusi bersama para “tokoh muda” itu. Disediakan pula makan siang buat mereka. Benar-benar mujur yang diundang itu: sudah bertemu dan berdikusi dengan teman-teman mereka yang top itu, dapat makan gratis lagi pula…..
Saya sendiri ke sana dengan anak juga mantan pacar saya –istri— yang dulu juga sering saya rayu dengan puisi-puisi yang kayaknya masih disimpannya entah di mana. Ini pertamakali mereka ke kantor saya –kantor Tempo- yang baru. Saladin Rahmani Bagaskara alias Aldin anak bungsu saya, diminta tampil memainkan biola dalam acara itu. Ia membawakan dua lagu: lagu klasik minute in G dan lagu Over The Rainbow.
Jadi, sekalian-lah. Sambil mengantar Aldin, sambil juga, anak-anak dan ibunya anak-anak itu, melihat-lihat, “Oh, begini toh kantor Tempo itu…..” Di kantor, saya membawa mereka untuk “tour the office” seperti beberapa kali saya juga saya melakukannya saat mengantar tamu atau teman saya jika berkunjung ke Tempo. Termasuk berfoto di spot-spot yang biasa dipakai para tamu. Inilah antara lainnya foto hasil jepretan saya -yang jauh dari profesional itu..