Matahari yang perlahan turun dari langit Jakarta dan menghilang di balik gedung-gedung selalu menjadi pemandangan menarik buat teman-teman Tempo. Maka kala momen tersebut datang, tiba-tiba sejumlah wartawan Tempo menjadi narsis, berfoto ria dengan latar belakang langit Jakarta yang menuju surup itu.
Sudah sekitar tiga pekan kami menempati kantor baru. Terletak di Jalan Palmerah Barat 8, Jakarta Barat, gedung itu dari jauh sudah kelihatan, jangkung dan menonjolkan ciri khas warna Tempo, merah. Bentuk bangunannya dibuat oleh sang arsitek bak tumpukan buku.
Kepindahan ke kantor baru itu sendiri disambut dengan beragam komentar. Ada yang senang ada pula bersungut-sungut. “Akhirnya majalah berita terbesar di dunia dalam bahasa Indonesia ini punya kantor bagus, bertingkat delapan dan ada liftnya,” kata seorang wartawan. “Masak selama ini di ruko, naik turun tangga kayu,” katanya lagi. Kami, di kantor, memang sering bercanda, dengan menyebut Tempo sebagai “majalah berita terbesar di dunia dalam bahasa Indonesia…”
Ada pun yang bersungut-sungut, itu lantaran kantor baru tersebut sebenarnya belum jadi. Bisa dibilang masih agak berantakan. Sialnya, yang berantakan itu adalah lantai 3 dan 4, tempat redaksi. “Bos, bukankah kalau sakit nanti perusahaan akan mengeluarkan biaya lebih banyak untuk menanggung kami,” seorang wartawan mengirim SMS ke saya. SMS lain bernada lebih heroik. “Mas, bukankah kewajiban perusahaan untuk menyediakan tempat bekerja yang sehat, aman, dan bebas dari bahaya. Itu ada di UU lho.”
Tapi akhirnya memang kami harus pindah. Ruko yang selama ini jadi kantor Tempo di Kebayoran Baru akan dipakai pemiliknya sendiri -setelah sebelumnya mereka membeli dari Tempo. Tempo sendiri berkantor di Kebayoran sejak tahun 2001, saat mulai menerbitkan Koran Tempo. Saya pribadi tidak asing dengan gedung itu karena sebelumnya itu kantor Majalah Forum, tempat saya dulu bekerja sebelum bergabung dengan Tempo.
Diperlukan, demikian kabarnya, 70-an orang dari perusahaan jasa yang khusus kerjanya mencari “proyek pindah-pindahan” untuk memindahkan isi perut kantor Tempo hanya dalam waktu satu, dua hari ke Palmerah Luar biasa karena jika kepindahan itu meleset, koran dan majalah tidak terbit. Ritual perpindahan mesti dilakukan secara cepat dan tepat agar di tempat baru, teknologi yang menghubungkan redaksi, desain, tidak putus.
Yang berjibaku tentu teman-teman Koran dan Tempo.co yang mesti terus menulis, mengedit, agar Koran dan Tempo.co tetap jalan seperti sedia kala. Karena para tukang masih bekerja di dalam gedung, maka suara bising dan terutama debu hal tak terhindarkan. Maka, pemandangan lain pun tercipta: wartawan bekerja atau wira-wiri dengan bermasker.
Ini untuk kedua kalinya saya menikmati hiruk pikuk kepindahan Tempo. Sebelumnya, Majalah Tempo berkantor di gedung berlantai dua di Jalan Proklamasi 72, Jakarta Pusat, dekat lapangan Tugu Proklamasi dan Stasiun Manggarai. Tempat yang strategis dan juga di jalan yang bersejarah –dulu Pegangsaan. Karena satu dan lain hal –konon gedung ini berbahaya jika ditempati lebih dari seratus orang- kami hijrah ke kantor Koran Tempo di Kebayoran Baru itu -kawasan yang terkenal dengan nama Velbak. Ada pun yang gedung Proklamasi, dijual. Nah, kini yang di Velbak juga dijual dan, tralala…..kami menempati: “Gedung Tempo.”
Boleh dibilang Gedung Tempo ini dirancang dan dibuat dengan detail-detal mimpi orang Tempo: unik, “nakal,” agak nyleneh, sekaligus elegan untuk sebuah kantor penerbitan. Sejumlah orang penting Tempo blusukan ke sejumah gedung perkantoran top di Jakarta untuk mencari “ilham” bagaimana menciptakan kantor media yang ideal.
Konsep utamanya kantor Tempo baru adalah pada penataan apa yang disebut “Newsroom,” sebuah organisasi yang memikirkan tiap detik berita atau peristiwa apa yang harus dicari, dikejar atau “diciptakan” dengan kriteria “layak Tempo ” di muka bumi ini –untuk para pembaca. Para redaksi di Newsroom itulah yang akan memerintahkan ratusan wartawan Tempo di Jakarta, daerah, dan luar negeri mengejar dan membuat berita itu, yang kemudian disebar ke Koran Tempo, Tempo.co, Majalah Tempo (juga edisi Inggrisnya), dan TV Tempo. Konsep, katakanlah “kebersamaan atau kepaduan” mengolah berita untuk berbagai media dalam satu grup ini disebut konvergensi.
Ruang Newsroom di kantor baru ini menempati ruang khusus, semacam panggung. Di sana ada meja indah –konon harganya muahallll – yang juga akan dipakai untuk menerima tamu yang sekaligus bisa berfungsi tempat “soting” TV Tempo. Ada pun untuk wartawan disediakan beberapa buah ruang “kedap suara” yang bisa dipakai menelpon atau mewawancarai orang sehingga tidak terganggu dari suara apa pun.
Di lantai empat, di dekat dinding kaca, ada pula sebuah “ruang” yang dibentuk semacam ruang teater –walau mini. Ada panggung dan di seberangnya “tribun” yangbisa dipakai duduk-duduk. Saya bayangkan, kelak beberapa teman Tempo yang hoby membuat puisi atau menyanyi –atau mungkin yang bisa bermain sulap- “manggung” di “ruang” teater itu. Pasti sangat menghibur kami.
Nah, yang unik. Di dekat panggung Newsroom ini ada pula kontainer yang “disusupkan.” Ya, benar-benar kontainer –hanya diperkecil- yang fungsinya bisa untuk rapat para bos-bos redaksi. Ada sebuah tangga besi yang menghubungkan kontainer itu dengan para direksi. Di gedung ini para direksi menempati lantai 5 sedang awak redaksi menempati lantai 4 dan 3. “Dulu bahkan mau ada rencana membuat prosotan dari lantai atas biar seru, tapi kemudian dihapuskan,” kata seorang teman dari divisi SDM.
Dari lantai lima, empat, dan tiga, ada sebuah kaca tembus pandang hingga ke lantai paling bawah, tempat mesin cetak Tempo bekerja. Kalau rumah mewah ada lantai dari kaca yang orang bisa melihat kolam ikan di bawahnya, di kami pemandangan di bawah lantai kaca itu ya mesin cetak….
Saya tidak tahu kapan kantor megah ini akan jadi sempurna. Kalau jadi, konon, di sekelilingnya juga ada track untuk jogging. Kantor ini memang dibangun dengan konsep “green building.”
Semua masih proses. Yang sudah jelas menjadi kenyataan ya pemandangan matahari senja yang turun dari langit Jakarta itu. Saya sangat menikmatinya, khususnya menikmati keriangan teman-teman menikmati senja gedung Tempo. Bergaya difoto dengan background senja yang memerah, seperti ini misalnya…
Serius bang? Orang luar boleh jalan-jalan masuk?
Sama-sama, Bang….sukses juga untuk Anda
Wah, keluarga Tempo juga…selamat berkarya di tempat lain, Bang. Salam sukses
7 tahun (2008-2015),dalam kebersamaan itu masih terasa dalam ingatan,dimana saya menyaksikan sendiri perubahan gedung dari awal penancapan tiang pancang,pondasi-pondasi yang kokoh,bisingnya suara kontraktor bangunan kala itu,ditambah bisingnya mesin cetak koran,menambah ingatan ku pada hari ini,terimakasih kawan,dari tempo saya banyak belajar arti sebuah tulisan…Sukses Selalu Tempo.co
insya alloh universitas paramadina senin tgl 20 februari 2017 sdh beraktifitas di gedung tempo
Mampir saja, masuk lihat-lihat, gak dilarang kok…
tiap hari, berangkat dan pulang kerja ku lihat gedung tempo ya megah dan bentuknya unik, dan berpikir…wahh siapa yah arsitek gedung ini…
Seru ya, kalau pindah ke kantor semacam itu. Lihatnya dari seru saja, biar nggak pusing…
saya juga pernah mengalami itu mas.. pindah ke kantor yang belum selesai seutuhnya.. 🙂
Benar…nggaya kan?
Yang sedang narsis, Mbak Isti ya?